MENGAPA MASYARAKAT (PERLU) MENOLAK

Selasa, 27 Mei 2008

Indonesia adalah negara miskin namun sebagai produsen minyak dunia. Produksi minyak Indonesia, sebagaimana dapat disimak dalam berbagai edisi Nota Keuangan, rata-rata mencapai di atas satu juta barel per hari. Tahun 2003 dan 2004, produksi minyak Indonesia mencapai 1,09 juta barrel dan 1,15 juta barel per hari. Sedangkan untuk tahun 2005, produksi minyak Indonesia diproyeksikan mencapai 1,12 juta barel per hari.


Sebagian produksi minyak Indonesia, dengan pertimbangan bahwa kualitas dan harganya jauh lebih tinggi, diekspor ke negara lain. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri, Indonesia mengimpor minyak dengan kualitas dan harga yang lebih rendah dari negara lain. Hasil ekpor minyak dan gas Indonesia untuk tahun 2003 dan 2004 mencapai US$15,2 miliar dan US$19,6 miliar. Sedangkan impor minyak dan gas Indonesia untuk kedua tahun yang sama masing-masing mencapai US$7,8 miliar dan US$11,5 miliar. Untuk tahun 2005, ekspor dan impor minyak dan gas Indonesia diproyeksikan mencapai US$19,7 miliar dan US$11,3 miliar.


Menyimak angka-angka tersebut dapat disaksikan betapa hasil ekspor minyak dan gas Indonesia sejauh ini masih tetap mengalami surplus. Sebab itu, sebagai negara miskin produsen minyak, sebenarnya sangat wajar bila harga BBM di Indonesia lebih murah daripada harga BBM di pasar internasional. Harga BBM yang lebih mahal, yang terus menerus di sesuaikan dengan harga BBM di pasar internasional, tidak hanya akan memberatkan beban hidup rakyat, tetapi juga akan menghambat mobilitas, dan dengan demikian akan membatasi peluang rakyat untuk keluar dari perangkap kemiskinan.

Undang-undang RI tentang Minyak dan Gas Bumi Nomor. 22 Tahun 2001, Pasal 22 Ayat (1) menyatakan :


“ Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan tersedianya pasokan Minyak dan/atau Gas Bumi yang diproduksi dari Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar dalam negeri. Pengertian penyerahan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak dan/atau Gas Bumi dalam ketentuan ini dimaksudkan apabila suatu Wilayah Kerja menghasilkan Minyak dan Gas Bumi maka Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari produksi Minyak Bumi dan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari produksi Gas Bumi. “


Apabila dilihat dari undang-undang tersebut diatas, sangat ironis memang. Indonesia yang saat ini merupakan salah satu produsen terbesar Minyak dan Gas dunia mengalami krisis energi. Dari produksi minyak dan gas, rakyat hanya dapat menikmati 25% dari jumlah produksi. Pertanyaannya, Apakah Pemerintah memang tidak memiliki keberanian untuk melindungi hak rakyatnya dari tekanan dunia internasional atau memang beberapa oknum pemerintah mengeruk keuntungan dari transaksi-transaksi haram dengan cara menggadaikan aset negara?


Saat ini, di Indonesia terdapat perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang pertambangan minyak dan gas, seperti Exxon Mobil, Chevron Texaco, BP Amoco Arco, Total Fina Elf, dan Shell, dan semuanya sangat mendominasi pasar tambang dan minyak di Indonesia. Padahal, sesuai dengan UU Pertambangan Minyak dan Gas No. 44 Prp/ 1960 dan UU Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara No. 8/1971, perusahaan-perusahaan multinasional tersebut hanya diperkenankan berperan sebagai kontraktor dalam proses eksplorasi minyak dan gas di Indonesia.


Untuk menutupi kebusukan tersebut, pemerintah memberikan solusi yang sangat tidak masuk akal dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) 35 Triliyun dengan bantuan perorang sebesar Rp.100.000/bulan, dengan asumsi masyarakat menengah kebawah diuntungkan, dari beban pengeluaran masyarakat Rp.30.000/bulan untuk membeli minyak tanah. Sehingga selisihnya Rp.70.000/bulan untuk menutupi kebutuhan lainnya. (Sumber: Tempo;Yusuf Kalla, 6 Mei 2008)


Asumsi seperti tersebut jelas menyesatkan masyarakat, dengan kenaikan BBM 30% diperkirakan mengakibatkan produktivitas menurun 32%, sehingga beban produksi semua produk naik 35%.


Apa langkah yang harus dilakukan ?


Perlu dibangun kesadaran kolektif dari segenap rakyat, bahwa kita tidak boleh begitu saja menerima kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat. Kesadaran ini juga tiada artinya tanpa gerakan kongkret. Diantaranya perlu kajian mendalam tentang produksi Migas Indonesia, perlu transparansi dan kontrol aset negara. Salah satunya ialah inventarisasi dan nasionalisasi aset negara. Sehingga dapat menjadi keuntungan yang surplus. Mendesak pemerintah agar segera mengakhiri pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal, memerangi korupsi dengan memperkarakan koruptor-koruptor kelas kakap, menghentikan pemberian subsidi terselubung terhadap sektor perbankan, dan berjuang keras menuntut dilakukannya penghapusan sebagian utang lama Indonesia serta segera menghentikan pembuatan utang-utang baru.


Menyimak hal tersebut, saya kira masyarakat memang wajib menolak kenaikkan harga BBM, sebab angka-angka mengenai penghasilan negara dari migas dan volume subsidi BBM cenderung tidak transparan. Sejalan dengan itu, seiring dengan meningkatnya peringkat Indonesia sebagai negara juara korupsi, volume kebocoran APBN patut dicuriga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Artinya, daripada menambah beban hidup rakyat dengan menaikkan harga BBM, jauh lebih masuk akal jika pemerintah menampakkan kesungguhannya dalam memerangi korupsi dan kebocoran APBN.

Design of Open Media | To Blogger by Blog and Web